Home / Opini / Politik

Kamis, 5 September 2024 - 14:13 WIT

Mantan Narapidana Jelang Pilkada: Kita Harus Waspada


Keterlibatan mereka dalam Pilkada mungkin tidak perlu ditolak sepenuhnya. Proses demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Keterlibatan mereka dalam Pilkada mungkin tidak perlu ditolak sepenuhnya. Proses demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi rehabilitasi dan reintegrasi sosial.


OPINI: Mantan Narapidana, Kini Menjelang Pilkada: Kita Harus Waspada

Oleh: (Faturahman Djaguna) Mahasiswa Hukum Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta.

 

 

Mahabari.com – Dalam sistem demokrasi, partisipasi politik merupakan salah satu hak fundamental yang dimiliki oleh setiap warga negara, termasuk individu yang pernah menjalani hukuman pidana. Kendati, keterlibatan mantan narapidana dalam kontestasi politik, khususnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), memunculkan sejumlah persoalan yang memerlukan penghayatan dan pertimbangan. Hal ini disebabkan oleh adanya berbagai parameter yang harus dipertimbangkan secara berhati-hati sebelum memberikan akses penuh kepada mereka untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Namun pentingnya dilihat, yang pertama. Integritas moral dan etika dalam kepemimpinan merupakan aspek penting yang harus dimiliki oleh setiap calon pemimpin. Meskipun seseorang telah menjalani hukuman dan dianggap telah “bersih” di mata hukum, pertanyaan tentang moralitas dan kredibilitas mereka tetap valid. Masyarakat memiliki hak untuk mempertanyakan apakah seseorang yang pernah melanggar hukum mampu memimpin dengan jujur dan adil.

Yang kedua, Keterlibatan mantan narapidana dalam politik bisa menimbulkan preseden yang berbahaya. Ini dapat mengirimkan pesan bahwa pelanggaran hukum bukanlah hambatan untuk mencapai jabatan publik, yang pada gilirannya dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi politik. Jika masyarakat kehilangan kepercayaan, stabilitas politik bisa terganggu, dan ini akan berdampak negatif pada pemerintahan dan pembangunan daerah.

Ketiga adalah Rekam jejak seseorang adalah indikator penting dalam menilai kapabilitas mereka sebagai pemimpin. Masyarakat perlu diberikan akses yang jelas dan transparan mengenai latar belakang para calon pemimpin, termasuk riwayat kriminal mereka. Ini penting agar pemilih dapat membuat keputusan yang lebih informed, dengan mempertimbangkan risiko dan konsekuensi yang mungkin timbul jika memilih seorang mantan narapidana.

Akan tetapi, di sisi yang lain, kita juga harus adil dalam memberikan kesempatan kedua kepada seseorang. Jika mantan narapidana tersebut telah menunjukkan perubahan signifikan dalam hidupnya, berkontribusi positif bagi masyarakat, dan menunjukkan komitmen terhadap hukum dan etika, maka keterlibatan mereka dalam Pilkada mungkin tidak perlu ditolak sepenuhnya. Proses demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Baca Juga  Asgar Hi. Muin Dapat Dukungan Tokoh Untuk Bertarung Pada Pilkades Toniku Halbar

Sebab dari pada karena itu, kewaspadaan masyarakat harus disertai dengan pemahaman yang mendalam tentang calon yang di pilih. Kita perlu menyeimbangkan antara hak seseorang untuk berpartisipasi dalam politik dengan kebutuhan untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Pilkada adalah momen penting dalam menentukan arah masa depan daerah, dan kita harus bijak dalam memilih pemimpin yang akan membawa kita menuju kemajuan, bukan kemunduran.

 

Pantaskah memilih mantan narapidana/Korupsi?

Pantas atau tidak bahwa mantan narapidana berhak atas kesempatan kedua setelah menjalani hukuman dan menyatakan penyesalannya. Mereka memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses politik, termasuk mencalonkan diri dalam pilpres, legislatif, Pilkada, dan lainnya. seperti warga negara lainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa masyarakat harus memutuskan sendiri apakah seorang mantan narapidana layak dipercaya kembali untuk memimpin. Sebaliknya, integritas dan kepercayaan menimbulkan yang mendalam. Apalagi mantan koruptor, sebab Korupsi adalah tindakan, bukan kejahatan biasa.

Sebaliknya, integritas dan kepercayaan menimbulkan kekhawatiran yang mendalam. Korupsi adalah tindakan, bukan kejahatan biasa. Namun atas nama kejahatan besar yang telah menghancurkan sistem sosial dan ekonomi Indonesia. Korupsi memiliki konsekuensi yang luas dan merugikan, yang menghambat kemajuan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Dalam situasi seperti ini, memilih seorang mantan koruptor untuk memegang jabatan publik pasti akan menjadi perdebatan yang sangat hangat.

Bagi saya pantas atau tidak itu bergantung pada rakyat, Sebab Pantas dan tidaknya adalah kembalikan kepada kebijaksanaan rakyat untuk memilih dan dipilih, jika rakyat berkeinginan untuk memberikan kesempatan kembali, toh kenapa tidak. Sebab amanah konstitusi menjamin setiap warga negara berhak dalam partisipasi politik. Akan tetapi yang perlu di renungkan bahwa kewaspadan dalam memilih pemimpin yang pernah menjadi napi merupakan hal yang paling amat penting untuk kita seriusi dalam mempertimbangkan memilih pemimpin mantan narapidana.

Baca Juga  Logistik Surat Suara PSU Halmahera Utara Desa Igobula TPS 01 Telah Disalurkan

Kita bisa berkaca salah satu kasus yang pernah terjadi adalah Bupati Kudus Muhammad Tamzil, yang pernah terjerat korupsi namun tetap terpilih sebagai bupati hingga akhirnya kembali terjerat kasus korupsi kembali. Ada pun sebuah pernyatan pengingat yang di sampaikan oleh wakil ketua KPK Basaria Pandjaitan mengingatkan partai politik untuk tidak.

lagi mengusung orang-orang yang mempunyai rekam jejak buruk terutama pernah terlibat tindak pidana korupsi. “Kasus ini juga sekaligus menjadi pelajaran bagi parpol dan masyarakat bahwa penting untuk menelusuri rekam jejak calon kepala daerah. Jangan pernah lagi memberikan kesempatan kepada koruptor untuk dipilih.” (Kompas.Com 27-07-2019).

 

Moralitas Pemimpin

Moralitas kepemimpinan adalah dasar penting untuk menjalankan tanggung jawab dan tugas seorang pemimpin. Untuk menjamin kepemimpinan yang jujur dan adil, prinsip etika dan nilai moral yang mendasarinya harus dipegang teguh. Dalam kepemimpinan moral, seorang pemimpin tidak hanya diukur dari hasil atau pencapaian yang dicapai, tetapi juga dari metode dan proses yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, tindakan dan keputusan seorang pemimpin harus didasarkan pada nilai-nilai yang benar secara etis sehingga memiliki dampak positif pada individu, masyarakat, dan negara.

Keadilan, transparansi, dan kejujuran adalah prinsip yang digunakan oleh pemimpin yang bermoral dalam bertindak. Mereka menyadari bahwa otoritas dan wewenang bukanlah alat untuk kepentingan pribadi, sebaliknya, mereka berkomitmen untuk melayani kepentingan umum secara moral. Akibatnya, pemimpin yang baik akan menolak tindakan yang merugikan masyarakat, seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau diskriminasi. Mereka selalu berupaya untuk membangun kepercayaan dan menjaga integritas, karena kesuksesan yang diraih tanpa landasan moral hanya akan menghancurkan kepercayaan publik dan merusak stabilitas sosial.

Baca Juga  Gugatan Nasdem Diterima MK, Satu Kursi Menunggu Putusan

Kemajuan dan stabilitas suatu negara bergantung pada kepemimpinannya. Pemimpin tidak hanya harus memiliki visi dan kemampuan manajemen, tetapi mereka juga harus memiliki moralitas yang teguh. Mempertahankan moralitas yang tinggi adalah salah satu tantangan terbesar bagi seorang pemimpin, terutama dalam menghadapi godaan kekuasaan yang seringkali memicu kasus-kasus hukum, seperti korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Orang yang baik harus bebas dari kasus hukum agar mereka dapat memerintah dengan legitimasi dan kepercayaan penuh rakyat. Dalam bukunya Republic, Plato menjelaskan konsep “filosof-raja”, di mana seorang pemimpin harus memiliki kebijaksanaan, keadilan, dan kebajikan moral yang mendalam. Bagi Plato, seorang pemimpin harus lebih dari sekadar cerdas atau kompeten, dia harus memiliki jiwa yang bersih dan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang merugikan negara dan masyarakat.

Seorang pemimpin yang bersih dari kasus hukum memiliki legitimasi moral dan politik yang kuat. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan John Locke, seorang pemikir politik Inggris, yang menyatakan bahwa kekuasaan pemimpin berasal dari kepercayaan rakyat. Ketika kepercayaan ini dilanggar, misalnya melalui tindakan melawan hukum, pemimpin tersebut kehilangan otoritas moralnya untuk memerintah. pemimpin yang tidak lagi dihormati karena terlibat dalam kasus hukum seperti korupsi. Korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan merupakan pelanggaran moral yang serius bagi seorang pemimpin.

Pemimpin yang korup tidak hanya merusak reputasi mereka sendiri, tetapi juga merusak institusi yang seharusnya mereka lindungi. “Jeremy Bentham, seorang paham utilitarian yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang membawa kebahagiaan bagi banyak orang.” Korupsi, sebaliknya, merugikan banyak orang dan hanya menguntungkan segelintir individu.


Baca Juga

Home

ASN Kota Ternate Diminta Agar Menjaga Netralitas Pada Pemilu 2024

Opini

Pemilu 2024 Dan Potret Realitas Sosial (Membaca Politik Kita Hari Ini)
Gambar karikatur tindakan penyelewengan dana

Hukum

Dugaan Penggelapan Dana oleh Oknum PPK Morotai Timur Berinisial (AL)

Politik

Ketua Komisi I DPRD Ingatkan Pemda Halut Harus Taati UU Terkait Pemekaran Wilayah

Politik

Sashabila Terima B1KWK. Ketua Pimda PKN Malut Minta Kader Partai Kerja Keras

Politik

Puluhan Ribu Masyarakat Lakukan Penjemputan Cakada Sahril-Makmur

Politik

BK DPRD Ternate: Nurlela Syarif Tetap Dapat Panggilan Klarifikasi

Politik

Ketua PAN Malut Beri Sinyal Koalisi Golkar, PAN dan PPP Secara Nasional Bisa Sampai di Daerah