Oleh : Rusmin Hasan
(Owner Lingkar Cita Institute)
MANUSIA sebagai mahluk sosial yang dalam perilaku di lingkungannya membutuhkan keberadaan orang lain. Senada, Aristoteles menyebutnya sebagai Zoon Politicon dimana interaksi antara manusia dan lingkunganya dalam rangka memenuhi kebutuhan dirinya maupun orang lain. Politik hanya bisa dilakoni oleh mahluk Tuhan yang bernama manusia. Sebab pada akal yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa, manusia mampu menjembatani kepentinganya antara satu dengan yang lain bahkan pada alam sekitar.
Realitas sosial senantiasa melibatkan subjektifitas yang muncul dari pemikiran manusia seperti opini, persepsi, atau ide-ide tertentu yang menurut Peter Berger dan Thomas Luckmann mencakup Eksternalisasi dimana ide-ide yang merupakan hasil pemikiran manusia akan eksis di kehidupan manusia, Objektifikasi yang menjelaskan ide-ide yang yang lahir dari proses eksternalisasi dapat dipersepsikan sebagai sebuah kenyataaan, menjadi konsensus dan mengalami interaksi sosial dan terjadi secara berulang (habituasi) dan Internalisasi dimana ketika ide menjadi objektifikasi dan diakui sebagai sebuah kenyataan lalu akan diserap dan dipahami oleh manusia sebagai pengetahuan.
Kekuasaan dan Kebebasan Ambisi manusia nampak dalam kehidupan sehari-harinya. Bagaimana dia mencari makan untuk kelangsungan hidupnya, pakaian yang tidak sekedar menutup raganya melainkan lebih dari itu agar terlihat mencolok dan berbeda dari orang kebanyakan, dan bahkan memperoleh barang mewah untuk terlihat terpandang oleh lingkungan dimana dia hidup. Lebih dari itu, manusia membutuhkan kekuasaan lebih agar dalam strata sosialnya terpandang, berkarisma dan berwibawa.
Perilaku ini merupakan paradigma sosial yang dapat dijumpai disekeliling kita dan tentunya tidak dapat dihindari. Dari sinilah kekuasaan bekerja seiring keinginan manusia itu ada. Bahkan kebebasan menjadi alasan setiap orang untuk memenuhi segala ambisinya. Manusia memilih kekuasan dan kebebasan untuk mengantarkan dirinya berada pada strata sosial yang lebih tinggi. Gaya hidup yang mentereng cenderung menjadi hasrat untuk berkuasa. Dalam konteks kontemporer, Politik menjadi jalan utama manusia untuk merubah kehidupanya. Karena itu ketika politik terlembagakan dengan baik misalnya melalui partai politik maka orang berbondong-bondong masuk dan mengambil peran sebagai mahluk politik yang seutuhnya. Fenomena klasik seperti ini dapat dijumpai disetiap momentum politik di Indonesia. Tujuanya tidak hanya dalam rangka mewarnai dinamika demokrasi melainkan lebih dari itu ada keinginan lebih dengan motif yang berbeda pula.
Kekuasaan cenderung dimaknai sebagai jalan menuju kesejahteraan. Atau sebagai batu loncatan guna mengendalikan sistim dan keinginan yang mutlak. Hal ini dapat kita jumpai beragam kekuasaan bekerja mengendalikan sistim dan kebijakan. Mengatur dan membuat berbagai keputusan atas nama rakyat bahkan tidak menutup kemungkinan demi dan atas nama pribadi dan kelompok politiknya sendiri. Karena itu, dapat kita lihat pula banyaknya orang-orang berkecimpun di dalam partai politik juga tak segan-segan membuat partai politik baru untuk menciptakan panggungnya sendiri.
Anak-anak muda, kaum perempuan dengan dalil keterpenuhan 30 persen keterwakilan, Aparatur Sipil Negara (ASN) yang nekat melepas Status Pegawai Negeri Sipil (PNS) demi mencoba peruntunganya dipanggung politik, para Pengusaha yang rela banting setir guna merambah dunia politik hari ini dan juga sejumlah artis yang hanya mengandalkan popularitas ikut mengambil bagian di pentas politik tanah air menjadi catatan penting kita melihat sejauh mana Politik dan Kekuasaan menjadi magnet yang menjanjikan. Idealnya, semangat berpolitik yang besar dan meluas ini dibarengi dengan pendidikan politik yang baik pula. Padahal demokrasi tidak sekedar dimaknai dengan siapa memilih dan siapa dipilih, berapa jumlah partai politik atau siapa menang dan siapa kalah, tetapi lebih dari itu harus diikut sertakan dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaiman cita-cita Undang-Undang Dasar 1945. Masyarakat tidak sekedar menjadi objek kekuasaan tetapi hak rakyat berupa pendidikan politik harus diberikan secara adil.
Di lain sisi, realitas sosial menunjukkan adanya pesimisme besar ditengah gegap gempita pesta demokrasi kita. Partisipasi masyarakat yang menurun, sentimen sosial, konflik kepentingan yang meluas yang melibatkan Suku Agama dan Ras (SARA), berita hoax yang merajalela, juga maraknya transaksi politik (money politik) yang secara terang-terangan membunuh nalar rakyat serta norma-norma hukum yang cenderung dilanggar. Demokrasi dan kebebasan yang digaungkan kembali menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian rakyat Indonesia, belum lagi ditambah dengan hasil produk demokrasi kita yang mengecewakan akibat prilaku penyimpangan seperti kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan mandeknya aspirasi rakyat yang cenderung dipolitisir.
Realitas ini sebagaimana Glaucon dalam buku Republika karya Plato menyebut bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Dengan dasar itu setiap orang merasa senang untuk melakukan sebuah kejahatan atas nama kebebasan tersebut namun ia merasa tidak senang manakala orang lain melakukan tindakan yang sama kepada dirinya sendiri.
Pemilu 2024 dan Tantangan Demokrasi
Bangsa Indonesia sedang menghadapi suatu hajatan nasional di tahun 2024 yakni Pemilihan Umum dan Pemilihan kepala daerah secara serentak. Pasca disepakati dan ditetapkannya waktu pelaksanaan pemilu pada tanggal 14 Februari 2024 dan Pemilihan Kepala daerah Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota pada tanggal 27 November 2024 maka sesungguhnya Negara telah mengagendakan sebuah peristiwa politik bagi rakyatnya dalam upaya merotasi kepemimpinan ditingkat nasional bahkan ditingkat provinsi dan Kabupaten /Kota di Indonesia. Tidak hanya itu, ujian maha berat atas eksistensi demokrasi kita sedang dipertaruhkan ditengah kompleksitas bangsa.
The Economist Intelligence Unit (EIU) baru saja merilis laporan Indeks Demokrasi Dunia terbaru. Menurut EIU, negara dengan demokrasi cacat umumnya sudah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, serta menghormati kebebasan sipil dasar. Dalam indeks EIU, Indonesia menduduki peringkat ke-52 dunia dengan skor 6,71. EIU juga mengelompokkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy). Negara dalam kelompok ‘cacat’ ini masih memiliki masalah fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang anti kritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal. Indeks Demokrasi EIU dihitung berdasarkan lima indikator, yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.
Terlepas dari hasil EIU diatas, dalam menghadapi Pemilu 2024 sesugguhnya kita masih memiliki Pekerjaan Rumah yang belum juga selesai seperti minimnya pendidikan politik, rendahnya pertisipasi masyarakat, tingginya pelanggaran hukum pemilu, politik uang dan maraknya berita hoax serta politisasi isu SARA.
Bahwa pendidikan politik merupakan kunci dalam rangka mewujudkan demokrasi di Indonesia. Rakyat diikutsertakan meski miskin akan pengetahuan demokrasi. Masalah klasik kita adalah rakyat hanya sebagai objek yang mudah dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok partai politik. Hal lain yang terjadi pada tubuh partai politik yakni tidak menggunakan kapasitas lembaga politiknya sebagai media mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang cenderung disuguhkan adalah akrobat kepentingan yang melelahkan dan membosankan seperti janji dan kedermawanan yang dipaksakan menjelang pemilihan. Sentimen politik, saling menjatuhkan, merasa paling benar, dan mengklaim diri sebagai pembela rakyat masih menjadi certa-cerita dan episode-episode yang tidak bekesudahan.
Partai politik masih menggunakan cara-cara kusam semisal membagi-bagikan uang sebagai harapan untuk dipilih yang tak pelak menabrak larangan, ragam ancaman bagi para ASN yang tidak sejalan dengan kemauan penguasa (Incumben), melibatkan ASN/PNS menjadi tim sukses marak diberbagai daerah di tanah air. Ironisnya para abdi Negara itu terkontaminasi oleh kepentingan politik dan mengabaikan integritas, merendahkan etika dan profesionalitasnya.
Tantangan lain menghadapi momentum pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024 adalah minimnya partisipasi masyarakat. Kesadaran akan pentingnya demokrasi di Indonesia masih menjadi masalah yang terus berlanjut. Angka partisipasi masyarakat dalam pemilu selalu fluktuatif bahkan cenderung menurun.
Meminjam Pikiran Muh Isnaini, Eep Saefulloh Fatah mengklasifikasikan golput dalam empat golongan. Pertama, golput teknis dimana mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelnggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pilkada/pileg akan membawa perubahan dan kebaikan. Keempat, golput ideologis yaitu mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat didalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik ideologi lainya.
Meskipun dilain sisi, pada perhelatan pemilihan umum tahun 2019 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis tingkat partisipasi pada pemilihan Presiden 2019 mencapai 81,97 persen dan pemilihan legislative 2019 tingkat partisipasi masyarakat menyentuh 81,69 persen melampaui target KPU 77,5 persen. Sementara itu untuk pilkada serentak tahun 2020 yang dibayang-bayangi dengan bencana Nonalam Corona Virus Disease (Covid-19) angka partisipasi nasional mencapai 76,09 persen, naik 7,03 persen dari pilkada tahun 2015 yang terpaut diangka 69,06 persen. Angka ini terbilang sangat tinggi dari pemilu/pemilihan sebelumnya, namun bukan berarti persoalan partisipasi makin baik sebab sangat disayangkan dimomentum yang bersamaan ada pihak-pihak yang intens mengkampanyekan golput meskipun dirasa tidak efektif untuk menurunkan partisipasi pemilih.
Hal lain yang tidak lepas dari perhatian masyarakat Indonesia adalah kinerja penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kedua lembaga ini selalu menjadi sorotan ditengah-tengah pergolakan politik (pemilu) di Indonesia. Kedua lembaga ini menjadi ikon sukses dan tidaknya pemilu/pemilihan, atau berkualitas atau tidaknya demokrasi di tanah air. Karena itu lembaga ini senantiasa dalam pengamatan dan pengawasan publik dan Dewan Kehormatan Penyelenggra Pemilu (DKPP).
Integritas, etika dan sikap independen menjadi tolak ukur kepercayaan publik atas kedua lembaga penyelenggra ini. Banyak kasus diberbagai daerah, anggota KPU dan Bawaslu harus diberhentikan dengan tidak terhormat akibat prilaku penyimpangan atas norma hukum dan etik sebagai penyelenggra pemilu. Ada pula yang diberi teguran keras oleh DKPP meski banyak pula yang lolos dari sanksi pemecatan dan dipulihkan nama baiknya karena terbukti tidak bersalah.
Pada konteks ini, sebagai penyelenggara pemilu, KPU maupun Bawaslu harus menunjukkan sikap sejatinya panitia dan wasit yang idependen dalam rangka memupuk kepercayaan publik atas penyelenggraan pemilu dan pemilihan yang akan berlangsung pada tanggal 14 Februari dan tanggal 27 November 2024. Prilaku penyimpangan penyelenggara menjadi noktah yang merongrong wibawa demokrasi yang sedang tumbuh.
Pada akhirnya, realitas sosial sangat mempengaruhi realitas politik kita hari ini. Harapan-harapan serta ikhtiar kita dalam membangun kesadaran politik dan memupuk berkembangnya demokrasi harus diberangi dengan sikap kesatria, negarawan, menjaga stabilitas politik, melebur kesenjangan sosial seperti kemiskinan dan kebodohan serta menghadirkan kepastian pada rakyat Indonesia bahwa kita sedang merajut peradaban yang sejati lewat demokrasi yang dikuatkan dengan penegakan supremasi hukum. Bahwa dengan melibatkan seluruh stakeholder, kita percaya Pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024 akan sukses terlaksana sebagaimana cita-cita bangsa yang tertuang dalam pancasila dan UUD 1945. Yang mesti menjadi perhatian serta harus dilakukan adalah setiap pemerintah, partai politik, politisi, penyelenggara KPU dan Bawaslu dan stakeholder lainya untuk aktif mensosialisasikan pentingnya berdemokrasi dengan mengajak keterlibatan aktif setiap waga Negara menjadi pemilih yang rasional, mengingatkan adanya pelanggran hukum yang berakibat pidana dalam pemilu dan pemilihan, mencegah beredarnya berita-berita hoax, dan melarang politisasi SARA.
Sesungguhnya ikhtiar-ikhtiar ini menjadi harapan, membangun optimisme disetiap jiwa anak bangsa bahwa kita tidak sekedar bermimpi namun kita sedang mewujudkan tatanan demokrasi Indonesia yang maju dan bermartabat. Semoga…!(*)