Home / Opini

Rabu, 2 April 2025 - 14:33 WIT

Kembali ke Fitrah Kuasa: Umat Islam Pasca Ramadhan 1446 H


Kembali ke Fitrah Kuasa (Foto Mahabari)

Kembali ke Fitrah Kuasa (Foto Mahabari)


Sukur Suleman

Pengajar Administrasi Publik Fisip UMMU

Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Maluku Utara 

Al Qurthubi ketika menafsirkan ayat (QS Ar Rum : 30) bahwa fitrah bermakna kesucian, yaitu kesucian jiwa dan rohani. Fitrah dalam islam di sini adalah fitrah Allah yang ditetapkan kepada manusia, yaitu bahwa manusia sejak lahir dalam keadaan suci, dalam artian tidak mempunyai dosa.

 

TERNATE Mahabari.com – Tidak terasa kita telah melewati Ramadhan selama satu bulan penuh. Bulan keberkahan sebagai proses edukasi dan Kaderisasi, magfirah serta ampunan darinya, bulan mulia dimana alqur’an diturunkan sebagai petunjuk manusia.

Artinya bahwa puasa yang barusan kita lewati bukanlah sekedar rutinitas belaka, melainkan bermakna secara spiritual, psikologis, serta humanis dan sosialis yang selanjutnya manusia pada kondisi tersebut berada pada posisi yang fitrah.

Seorang Psikologi islam Prof. Achmad Mubarok mengatakan semangat ramadhan menjadikan manusia kembali ke fitrah dan fitrah kebangsaan, mengukuhkan semangat persatuan termasuk didalamnya adalah kembali ke fitrah kuasa.

Baca Juga  Pemilu 2024 Dan Potret Realitas Sosial (Membaca Politik Kita Hari Ini)

Fitrah dalam menjalankan amanah kekuasaan dengan penuh keadilan, kejujuran, ketakwaan dan menjadikan kekuasaannya itu sebagai sarana pengabdian kepada Tuhan, sebab jika kekuasaan itu tidak kembali kepada fitrahnya maka manusia serta alam semesta dan isinya akan binasa, karena sifat kemanusiaannya senantiasa didominasi nafsu kuasa dimana para sufi menyebutnya dengan kekuatan Hawa nafsu.

Jalaluddin Rahmat dalam bukunya. “Merai Cinta Ilahi” mengemukakan bahwa ada tiga kekuatan hawa nafsu dalam diri kita menurut para sufi yang membuat manusia tidak pernah puas soal kekuasaan.

Kekuatan nafsu pertama disebut dengan quwwatun bahimiyah, yaitu kekuatan kebinatangan. Dalam diri kita, terkadang unsur-unsur kebinatangan, unsur inilah yang mendorong kita untuk mencari kepuasan lahiriah atau kenikmatan sensual.

Kekuatan kedua, disebut para sufi sebagai quwwatun sab’iyyah, yaitu kekuatan binatang buas. Jauh dalam diri kita senang menyerang orang lain, kita suka memakan hak orang lain, kita ingin membenci, menyerang, menghancurkan, atau mendengki dan ada kekuatan jahat untuk menyerang orang lain.

Baca Juga  Mantan Narapidana Jelang Pilkada: Kita Harus Waspada

Kekuatan lain dalam diri yang disebut para sufi sebagai quwwatun syaithaniyyah. Inilah kekuatan yang mendorong kita untuk membenarkan segala kejahatan yang manusia lakukan, setan senantiasa membisikkan dalam hati manusia agar mereka tidak usah merasa bersalah karena mengambil hak orang lain untuk dipergunakan membantu keluarga dan kelompok kepentingannya.

penyalahgunaan kekuasaan, prilaku koruptif, kolusi dan Nepotisme kemudian mereka rendahkan dalam bentuk konspirasi.

Namun, Tuhan juga menyimpan dalam diri manusia sebagai satu bagaian penting dari kepribadian kita, satu kekuatan yang berasal dari percikan cahaya tuhan, inilah yang dinamakan dengan quwwatunn Rabbani yah, kekuatan Tuhan, yang terletak pada akal sehat manusia.

Maka secara rohaniah kita adalah binatang walaupun secara jasmaniah kita menampakkan penampilan seperti manusia. Apabila kita senang memelihara dendam, perasaan iri hari, kejengkelan dan kemarahan dalam hati, maka kita adalah serigala-serigala yang buas.

Jika yang berkuasa dalam diri manusia adalah kepandaian mencari dalih dan alasan untuk membenarkan kekeliruan dan kesalahan.

Baca Juga  Upacara HUT Ke 77 Kemerdekaan RI di Tidore Berlangsung Khidmat

Untuk itu menginternalisasi nilai-nilai kefitrahan dalam diri kita perlu dijaga dan dipertahankan terutama upaya mengembalikan fitrah kuasa itu pada realnya.

Makna fitrah ini menjadi dasar dan ketentuan hukum yang suda menjadi ketetapan, sehingga apapun keburukan dan kejahatan yang dilakukan manusia seperti yang dikatakan para sufi sebagai sifat kebinatangan, suatu saat mereka pasti mengingat dan akan kembali pada hakekat fitrahnya.

Upaya untuk menjadi bersih kembali tanpa dosa memang akan sulit dilakukan sebagai manusia.

Meskipun demikian ada usaha manusia untuk memperbaiki diri termasuk kesalahan para penguasa kita yang dilakukan sebelum-sebelumnya, dan paling tidak pasca hari kemenangan ummat muslim ini yakni lebaran idul Fitri kita dikatagorikan sebagai manusia fitrah, maka harapannya manusia tidak lagi melakukan perbuatan dosa dan nilai yang sama.

Mereka yang berkuasa senantiasa kembali pada fitrahnya dan menjadikan makna fitrah itu sebagai ibdah dalam menggunakan kekuasaannya.


Baca Juga

Opini

Pemilu 2024 Dan Potret Realitas Sosial (Membaca Politik Kita Hari Ini)

Opini

Pengaruh Politik Identitas dan Ancamannya

Home

Upacara HUT Ke 77 Kemerdekaan RI di Tidore Berlangsung Khidmat

Home

Jumar Dari Jurnalist dan Aktivis Pemuda Muhammadiyah Menuju Parlemen

Opini

Visi-misi Berbasis Anggaran, Cakada Harus Rasional dan Terukur

Opini

Politisasi Birokrasi dan Mutasi Pejabat Pasca Pilkada

Opini

PROMOSI TANJUNG BONGO DAN KOMUNITAS TOKUWELA KREATIF

Opini

Membangkitkan Kembali Mutiara Terpendam: Pelestarian Naskah Kuna Ternate